MAKALAH
Filsafat Islam Kontemporer II Hasan Hanafi
Mata Kuliah : Filsafat Islam
Dosen Pengampu : H. Sholihan, M. Ag

Ika Fatmalasari (1401016007)
Anis Lud Fiana (1401016026)
FAKULTAS DAKWAH
DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2016
A.
Pendahuluan
Dalam
sejarah dan kebudayaan Islam di bagi
dalam beberapa periodesasi. Pada periode klasik peradaban islam sangat maju,
dilihat dari ilmu pengetahuan, kebudayaan, artitekstur yg ada pada masa itu
sangat maju. Padahal di dunia barat masih gelap gulita tentang ilmu
pengetahuan, kebudayaan. Bisa di katakan pada masa itu barat sangat tertinggal
sekali dengan dunia Islam. Mulai pada pertengahan Barat sudah mulai bangkit
sedangkan islam mulai terpuruk akibat dari serangan bangsa mongol. Ilmu pengetahuan,
kebudayaan dan bahkan kehidupan di dunia islam bisa di bilang mati. Pada masa
periode modern ini islam mulai bangkit dari keterpurukan, mengejar
ketertinggalan dari dunia barat.
Kebangkitan-kebangkitan
ini berasal dari dunia Arab. Banyak para tokoh yang mulai melakukan penggerakan
untuk bisa bangkit dan melawan terhadap keadaan yang terpuruk. Para tokoh ini
ada yang melakukan gerakan fisik untuk melakukan revolusioner dan ada pula
tokoh yang lebih suka mengeluarkan ide-idenya untuk membangkitkan semangat dan
menimbulkan kemauan untuk berubah. Ada pula tokoh yang menggabungkan antar
keduanya antara perjuangan fisik dan gerakan pemikiran.
Filsafat
Islam adalah perkembangan pemikiran umat islam dalam masalah ketuhanan,
kenabian, manusia dan alam semesta yang disinari oleh ajaran Islam. Filsafat
Islam adalah filsafat yang bermuatan religius , namun tidak mengabaikan
persoalan-persoalan kefilsfatan[1]
Pada
kesempatan kali ini akan dicoba di jabarkan
tentang seorang tokoh revolusioner mulai dari biografi, setting sosial,
pemikirannya, karya-karyanya yang sampai saat ini masih bisa kita rasakan
pengaruhnya, yaitu tentang tokoh Dr. Hasan Hanafi.
B.
Kehidupan , Karya Dan Garis Besar Pemikiran
a.
Kehidupan
Hassan Hanafi –untuk berikutnya
ditulis Hanafi- dilahirkan di kota Kairo, 13 Februari
1935 M. [2]Pendidikannya
di awali dipendidikan dasar, tamat tahun 1948, kemudian di Madrasah Tsanawiyah
Khalil Agha, Kairo, selesai tahun 1952. Selama di Tsanawiyah ini sudah aktif
mengikuti diskusi kelompok Ikhwanul Muslimin, sehingga tahu tentang pemikiran
yang dikembangkan dan aktifitas sosial yang dilakukan. Selain itu juga
mempelajari tentang pemikiran Sayyid Qutub tentang keadilan sosial dan
keislaman. Tahun 1952, hanafi melanjutkan studi di Departement Filsafat
Univesitas Kairo, selesai tahun 1956, ia berhasil menyelesaikan program Master
dan Doktornya sekaligus dengan tesis “ Les methodes d’Exegeses; Essei Sur La
Sciens des Fondamental de la comprehension ilmu ushul figih dan desertasin
L’Exegese de la phenomenologie, L’etat ectual de la mrthode phenomenologie et
son application au pheonomene religiux ”.
Karir
akademiknya dimulai tahun 1967 ketika diangkat menjadi Lektor dan kepala lektor
pada tahun 1973, profesor filsafat (1980) pada jurusan Filsafat Universitas
Kairo, serta disertai sebagai ketua jurusan Filsafat pada Universitas yang
sama. Selain itu Hanafi juga mengajar di berbagai negara, seperti Perancis
(1969), Belgia (1970), Temple University Philadelpia AS (1971-1975),
Universitas Kuawit (1979), dan Universitas Fez Maroko (1982-1984).[3]
Hasan
Hanafi adalah seorang yang intelektual yang dalam wawasan terakhir ini nalar
kritisnya banyak mewarnai gerak pemikiran intelektual muda Islam Indonesia. Ia
adalah pemikir muslim terkemuka dengan proyek pembangunan peradapan islam
mendatang. Disini ia membangun segitiga emas pemikiran Islam yang dipandang
akan memberikan spirit bagi kebangkita umat islam. Sikap terhadap tradisi
barat, dan sikap terhadap realitas. Orientasinya adalah menyandingkan
“tradisi”dan “modernitas”.
Perhatian
Hasan Hanafi terhadap filsafat islam bermula dikampus sebelum berangkat ke
Prancis. Di luar kampus ia membaca Hasan al-Bana, Syys Quthub, Abdul Hasan
an-Nadwi, Muhammmad Al-Ghazali dan pemikir-pemikir Muslim kontemporer lainnya.
Saat itulah ia merasakan sesuatu terjadi pada dirinya, ia menyadari kebangkitan
islam dan umatnya, menyadari eksistensi, kehidupan, realitas, masyarakat,
negara, masa depan, dan misi kehidupannya.[4]
Ia
dikenal sebagai figure yang menguasai dengan baik tradisi pemikiran
Islam. Dengan kemampuan intelektualnya itu, ia berusaha merekontruksi pemikiran
Islam ke arah yang dapat membebaskan kauim muslimin dari segala bentuk
penindasan. Hasil rekrontruksi pemikiran Islam ituah yang disebutnya Al-Yasar
Al-Islami (Kiri Islam). Jurnal yang diterbikannya untuk menyebarluaskan
gagasannya juga diberi nama yang sama. Meskipun hanya sempat terbit sekali,
yakni pada Januari 1981, namun kemunculannya yang sekilas itu tidak dapat
menghapus begitu saja makna kehadiran ide Kiri Islam itu dalam khazanah
intelektual Islam.[5]
Jika
dilihat dari kaca mata lain, Hanafi dibesarkan dalam lingkungan keluarga
musisi.Hal ini terbukti bahwa Hanafi pernah bercita-cita ingin menjadi seorang
musisi. Menurut Hanafi, musik adalah suatu wadah untuk mengekspresikan keadaan
jiwa di hati seseorang. Namun, pada perkembangan berikutnya, Hanafi bergeser
cenderung ke kajian filsafat.Di dalam filsafat Romantisme, Hanafi menemukan
perpaduan antara keduanya, yakni intelektualitas dan estetika.Nuansa Filsafat
ini, dapat ditemukan dalam filsafat Hegel, Fichte, Schelling, Kierkegard dan
Bergson.[6]
b.
Karya Hassan Hanafi
Karya
Hasan Hanafi dapat dibagi kepada tiga periode. Periode pertama berlangsung pada
tahun 60-an, periode kedua tahun 70-an dan periode ketiga tahun 80-an sampai
90-an. Pada periode pertama, khususnya awal dasawarsa 60-an, pemikiran Hasan
Hanafi dipengaruhi oleh paham-paham dominan yang berkembang di Mesir, yaitu
nasionalistik-sosialistik-populistik yang juga dirumuskan sebagai ideologi Pan
Arabik. Karya-karya tersebut adalah sebagai berikut :
1. Les Methode
d’Exegese Essei Sur La
Science des Fondament de La Comprehension, ‘Ilm
Ushl Fiqh (1965)
2.
L’Exegese de la Phenomenologie L’etat actuel de la methode
Phenomenologie et son application ua Phenomene Religiux (1965)
3.
La Phenomenologie d L’Eexgese : essei d’Une Hermenuetique
existentille a partidu Nouvea Testanment (1966)
Pada periode
kedua, yaitu tahun 70-an, Hasan Hanafi memberikan perhatian utama pada
sebab-sebab kekalahan bangsa Arab ketika berperang melawan Israel pada tahun
1967. Karya-karyanya adalah sebagai berikut :
1. Qadhaya Mu’ashirah fi
Fikrina al-Mu’ashir (1977), yang merupakan kumpulan dari tulisan-tulisannya
pada berbagai majalah, seperti Al-Khatib, Al-Akhbar, Al-Adab, Al-Fikr
al-mu’ashir dan Minbar al- Islam.
2. Qadhaya Mu’ashirah fi
Fikr al-Gharbi al Mu’ashir (1977)
3. Religious Dialogue and
Revlution (1977)
4. Dirasat Islamiyah (1978) yang memuat deskripsi dan analisis pembaruan
terhadap ilmu-ilmu keislaman klasik, seperti ushul fiqih, ilmuilmu ushuludin
dan filsafat.
Pada
periode terakhir yaitu tahun 80-an sampai tahun 90-an, Karya-karya Hasan Hanafi
memiliki latar belakang politik yang relatif lebih stabil dibandingkan pada
masa-masa sebelumnya. Diantara karya-karyanya adalah sebagai berikut :
1. Al-Turats wa Al-Jadid
2. Al-Yassar al-Islami
3. Dirasat Falsafiyah (1988)
4. Min Al-Aqidah ila
Al-Tsawrah (1988)
5. Hiwar al-Masyriq wa
al-Magrib (1990)
6. Islam in the Modern World
(1995)
7. Humum al Fikr wa
Al-Wathan (1997)
8. Jamaludin Al-Afghani
(1997)
9. Hiwar al-Ajyal (1998)
Selain
dalam tiga periode tersebut, masih ada lagi karya-karya lain Hasan Hanafi yang
masuk dalam kategori Karya terjemahan, saduran dan suntingan. Diantara
karya-Karya tersebut adalah sebagai berikut :
1. Muhammad Abu Husain
Al-Bashri
2. Al-Mu’tamad fi ‘Ilm Ushul
Al-Fiqh (1964-1965)
3. Al-Hukumah al-Islamiyah
li Al-Imam Khamaini (1980)
4. Jihad Al-Nafs aw Jihad
al-Akbar li Al-Imam Khamaini (1980)
5. Namadzij min al-Falsafah
al Masihiyyah fi Al-Ashr al Wasith
6. Al-Mu’allim li Aghustin :
Al iman al-Basits ‘an al-Aql la Taslim, Al wujud wa al-Mahiyah li Tuma
al-Akwini (1968)
7. Spinoza : Risalah fi
al-Lahut wa al-siyasah (1973)
8. Lessing : Tarbiyah fi
al-Jins al-Basyari wa a’mal ukhra (1977)
9. Jean-Paul Sarte : Ta’ali
al-‘ana Al-Mawjud (1978)[7]
c.
Garis Besar Pemikiran
Hanafi
berpendapat, bahwa kiri islam berakar pada dimensi revolusioner dari khazanah
intelektual lama, karena itu rekonstruksi, pengembangan dan pemurnian khazanah
itu sangat penting dilakukan, dimana khazanah tersebut terdiri dari tiga macam
ilmu pengetahuan:
1. ilmu – ilmu normatif rasional (al-ulum al-naqliyah al-aqliyah)
contohnya ilmu ushul ad-din, ilmu ushul al-fiqih, dan ilmu tasawuf.
2. ilmu – ilmu rasional semata (al-aqliyah) contohnya matematika,
astronomi, fisika, kimia, kedokteran dan farmasi.
3. ilmu – ilmu normatif tradisional (al-naqliyah) contohnya ilmu
al-quran, ilmu hadist, sirah nabi, fiqih dan ilmu tafsir.[8]
Garis
pemikiran Hasan Hanafi terangkum dalam proyek besar yang sedang dibangunnya,
yaitu Al-Turasat wa al-Tajdid (Tradisi dan pembaharuan).proyek peradaban
yang dicanangkan oleh Hasan Hafani ini memiliki tiga concern yaitu
1.
Rekrontruksi terhadap seluruh warisan Intelekrual Islam
Agenda pertama
dari mega-proyek Hanafi adalah “sikap kita terhadap tradisi lama”, yang diwujudkan
dalam bentuk rekrontuksi terhadap seluruh warisan intelektual.
2.
Oksidentalisme
Oksidentalisme
yang secara harfiah berarti hal-hal yang berhubungan dengan barat.
3.
Metodologi tafsir/hermeneutika
Hanafi menggunakan hermeunetika sebagai
metodologi untuk memahami Al-Quran. Menurut Hanafi bukan hanya berarti “ilmu
interpretasi” yaitu suatu teori pemahaman, tetapi juga ilmu yang menjelaskan
penerimaan wahyu sejak tingkat perkataan samapi tingkat dunia, juga tranformasi
wahyu dari pikiran Tuhan kepada kehidupan manusia.[9]
Kiri
islam menyepakati lima prinsip mu`tazilah (usul khamsah). Dan berusaha
merekonstruksi prinsip mu`tazilah itu setelah tenggelam pada abad 5 H. semenjak
al-ghazali menyerang ilmu – ilmu rasional dan dominasi tasawuf yang berjalan
dengan Asy`ariyah hingga masa gerakan reformasi islam. Kita mengintroduksi
mu`tazilah, karena kita mengembangkan rasionalisme, kebebasan, demokrasi dan
eksplorasi alam, dan juga mengelaborasi khawarij, kita mendukung revolusi islam
dan teguh dalam merebut hak – hak rakyat dan mengembalikan martabat mereka.
Menurutnya,
kita banyak menyeru kepada perbuatan adalah syarat keimanan agar umat islam
terus berkarya, sesuai dengan semboyan “sedikit bicara banyak bekerja Hanafi
mengikuti paradigma kajian fiqih maliki karena ia menggunakan pendekatan
kemaslahatan (masalah mursalah serta membela kepentingan kaum muslimin).
Sebagai contoh Umar ibn khattab adalah imam mujtahid, pembela kemaslahatan umat
muslimin dan mengetahui kemaslahatan itu meskipun beliau belum mendapat petunjuk
wahyu sehingga kemudian baru datang dan membenarkan pendapatnya.
Kiri
islam bukan mazhab fiqih baru, namun ia memilih diantara berbagai mazhab dan
berpendapat bahwa malikiyah lebih dekat kepada realitas dan memberikan
keberanian kepada mujtahid saat ini untuk mengambil keputusan berdasarkan
kemaslahatan umum, bukan fiqh hanafi yang hanya dominan kepada dimensi
kewajiban, atau syafi`iyah yang hanya mencoba menggabungkan antara maliki dan
hanafi atau kelompok hijaz dan irak.[10]
Kiri
islam bermazhab pada akar esensi malikiyah, bukan fiqh hambali yang hanya
memegang validitas teks semata dan kami telah cenderung menghindari penerapan
teks yang tidak proporsional. Ini bukan berarti kiri islam melakukan
diskriminasi atas mazhab – mazhab fiqh tersebut tapi untuk mengembalikan umat
muslimin kepada sumber pertamanya. Para pendahulu telah berijtihad, maka
kinipun harus berijtihad.
Menurut
hanafi, bahwa keberanian kita ini berdasarkan realita dan kemaslahatan umum,
kita harus bercermin kepada malikiah. Penggunaan akal secara optimal dalam
interpretasi teks bercermin pada hanafiyah. Pemaduan rasio dan realitas kita
bercermin pada syafi`iyah dan komitmen terhadap teks bercermin pada hambaliyah.
Kita berpendapat bahwa teks adalah refleksi atas realitas. Tugas kiri islam juga
melakukan kajian kritis atas seluruh tradisi legislasi (tasyri`). Kita menerima
apa yang terdapat dalam al-quran dan sunnah yang shahih, berarti menerima
prinsip – prinsip kemaslahatan itu, kita melakukan ijtihad.
C.
Pemikiran Filsafat
a. Ijma`
Hanafi berpendapat,
bahwa ijma` yang dibuat dalam suatu kurun tertentu tidak selalu sesuaidengan
kurun waktu berikutnya, karena perubahan situasi.Ijma` dengan demikian hanya
dapat diterapkan pada masanya.Kita menetapkan hokum dengan kemaslahatan. Kemaslahatan
adalahprinsip penetapan hokum. Dari sinilah kita bangun komitmen kita pada imam
malik ibn anas dan prinsip kemaslahatan sebagai prinsip kritis atas teks
al-quran dan sunnah, ijma` dan ijtihad para fuqaha. Kita pertemukan ijtihad dengan prinsip keempat sebagai prinsip
dasar dengan prinsip – prinsip dasar lain yaitu Al-quran.
b. Filsafat
Menurut hanafi,
filsafat mengikuti paradigma ibn rusyd[11]yang menghindari illuminasi dan metefisika,
dengan mendayagunakan rasio untuk menganalisis hukum – hukum alam.Filsafat
rasional klasik yang dirintis oleh al-kindi dan bertumpu pada rasional ilmiah
yang memandang filsafat sebagai dasar agama, menguasai hukum alam dan
menundukannya bagi kemaslahatan manusia.
c. Tasawuf
Menurut hanafi,
kiri islam menolak tasawuf serta memandangnya sebagai penyebab dekadensi kaum
muslimin yang ditengarai antara lain aleh ibn taimiyah. Tasawuf sesungguhnya
tumbuh sebagai suatu gerakan yang anti kemewahan, arogansi dan kompetisi
duniawi, setelah perlawanan partai – partai oposisi dari imam ahli bait yang
dimulai dari saat ali dan husein r.a mengalami kekalahan. Maka ketika kemudian
pemerintahan dinasti umayyah mulai mapan dan ribuan kaum muslimin yang dipinpin
para imam dan sahabat gugur, maka banyak umat islam yang tulus meninggalkan
keduniaan yang mereka pandang sebagai penyebab perpecahan dalam barisan umat
islam. Prinsip mereka
adalah untuk menyelamatkan diri dan menjaga kesucian bathin.
d. Al-Aqliyah
Tentang
al-aqliyah (ilmu – ilmu rasional) kiri islam mendapatkan akarnya pada ilmu –
ilmu rasional murni dalam khazanah klasik kita. Ilmu – ilmu itu ditegakkan oleh rasio, transendensi telah mampu
memberi kekuatan kepada rasio untuk menuju kepada yang tak terbatas. Pendahulu
kita karena pengguna rasio dan sikap apresiatif terhadap alam dan hukum –
hukumnya telah menguasai teori – teori ilmiah dalam matematika, fisika,
arsitektur, kimia, kedokteran, biologi, farmasi dan sebagainya, yang hampir
setara dengan ilmu – ilmu modern. Kiri islam berpretensi untuk mengangkat ilmu
– ilmu klasik itu secara bertahap, sehingga kita tidak lagi tergantung dengan
penemuan – penemuan yang lain. Ilmu pada dasarnya adalah bagaimana mengaktifkan
rasio dan alam. Ilmu bukanlah barang jadi, yang hanya diterapkan dan
dipindahkan dari satu tempat ketempat lain.
Ilmu – ilmu
sosial, kiri islam juga berakar pada ilmu – ilmu kemanusiaan yang telah
diletakkan dasar – dasarnya oleh pendahulu kita, seperti ilmu bahasa, sastra,
geografi, sejarah, psikologi dan sebagainya, sesuatu yang selalu kita ulang –
ulang tanpa mengetahui basis teoritiknya, misalnya bagaimana kita berupaya
merekonstruksi relitas sejarah hanya melalui metode riwayat dalam ilmu
hadist,atau mengkaji syariat sebelum kita dalam ilmu fiqh, dan cerita – cerita
kenabian, hari kiamat dan kepeminpinan dalam ilmu usul addin, dan mengkaji
tingkat – tingkat spiritual dalam ilmu tasawuf dan mengkaji fase – fase
sejarah. Kita mencoba menciptakan teori – teori sejarah baru yang berkaitan dengan
masyarakat islam, bertitik tolak dari ibn khaldun yang menggambarkan dinamika
bangsa – bangsa dalam empat fase : tumbuh, berkembang, jaya dan hancur.[12]
e. Al-ulumu al-naqliyah al-khalishah
Al-ulumu
al-naqliyah al-khalishah (ilmu – ilmu tradisional murni), yaitu ilmu pertama
sekali berkembang disekitar wahyu: ilmu – ilmu al-quran, al-hadist, tafsir dan
fiqh. Beberapa ilmu tersebut dapat dikembangkan secara kontemporer, misalnya
al-quran terdapat asbab al-nuzul yang dimaksudkan untuk mengutamakan realitas,
ilmu nasikh wa mansukh, ilmu makiyah madaniyah untuk mengembangkan konsep
system, aqidah syariah dan praktis.semua ilmu tersebut memungkinkan untuk
dikembangkan menjadi ilmu eksperimen seperti sosiologi, historiografi, sistem
politik dan ekonomi.
f. Ilmu Hadist
Mengenai ilmu
hadist hanafi berpendapat, bahwa kita lebih mementingkan materi atau teks
daripada sanad (silsilah perawi). Mungkin kita tidak mampu melakukan kritik
sanad (seperti yang dikembangkan pendahulu kita dalam rijal al-hadist), tetapi
kita mampu melakukan kritik matan dilihat dari apakah sebuah teks masuk akal
atau tidak, kewajaran dan sebagainya, kita mampu melakukan kritik internal –
internal setelah pendahulu kita mengembangkan tradisi eksternal, terutama
karena rasa kebangsaan sering kali dibentuk dari teks hadist yang diterapkan
tanpa melalui kritik internal. Banyak hadis yang nilainya lemah (hadist –
hadist masyhur, mursal, maqtu`,dha`if dan ahad) digunakan dalam kehidupan
sehari – hari, sementara hadist yang valid yang sesungguhnya sudah teradapat
dalam al-quran diabaikan. Maka karena itu, prioritas kita adalah pada makna
hadist, bukan pada perawinya, dan selanjutnya memprioritaskan pada kata – kata
nabi daripada pribadinya.Jangan sampai meniru ahli kitab yang mementingkan
sirah nabi mereka dan melupakan ajaran – ajaran yang telah diberikan oleh nabi
– nabi mereka tersebut.[13]
D.
KESIMPULAN
Hasan
Hanafi adalah seorang yang intelektual yang dalam wawasan terakhir ini nalar
kritisnya banyak mewarnai gerak pemikiran intelektual muda Islam Indonesia. Ia
adalah pemikir muslim terkemuka dengan proyek pembangunan peradapan islam
mendatang. Disini ia membangun segitiga emas pemikiran Islam yang dipandang
akan memberikan spirit bagi kebangkita umat islam. Sikap terhadap tradisi
barat, dan sikap terhadap realitas. Orientasinya adalah menyandingkan
“tradisi”dan “modernitas”.
Kiri
islam menyepakati lima prinsip mu`tazilah (usul khamsah). Dan berusaha
merekonstruksi prinsip mu`tazilah itu setelah tenggelam pada abad 5 H. semenjak
al-ghazali menyerang ilmu – ilmu rasional dan dominasi tasawuf yang berjalan
dengan Asy`ariyah hingga masa gerakan reformasi islam. Kita mengintroduksi
mu`tazilah, karena kita mengembangkan rasionalisme, kebebasan, demokrasi dan
eksplorasi alam, dan juga mengelaborasi khawarij, kita mendukung revolusi islam
dan teguh dalam merebut hak – hak rakyat dan mengembalikan martabat mereka.
E.
PENUTUP
Demikian makalah yang kami susun tentang Filsafat Islam
Kontemporer II Hasan Hanafi. kritik dan saran yang membangun kami harapkan untuk
perbaikan makalah yang akan datang.
[1]Sirajjuddin
Zar, filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya, (jakarta : PT Raja Grafindo
Persada,2004)hlm. 15
[2]M. Ridlwan Hambali, “Hassan Hanafi: Dari Islam
Kiri, Revitalisasi Turats,” dalam Islam Garda Depan, Mosaik Pemikiran Islam
Timur Tengah, hlm. 219
[3]
A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (pustaka pelajar/
Yogyakarta,2004)hlm. 37-54
[4]
Hassan Hanafi, Islamonologi 3 dari Teosentrisme dan Postmodernisme,(Lkis;Yogyakarta,2004)Hlm.
X-Xii
[5]
Sholihan, pernak-pernik Filsafat Islam dari Al-Farabi sampai Al-Faruqi (Semarang;
Walisonggo Press, 2010)hlm. 123-125
[6]
Hassan Hanafi, Oksidentalisme; Sikap Kita
terhadap Tradisi Barat. Terj. M.Najib Buchori, (Jakarta: Paramadina, 2000),
hlm. 231.
[7]Shimogaki,
Kazuo. Kiri Islam, Antara Modernisme dan Postmodernisme. Lkis. Yogyakarta :
1997
[8]M.Chalil, Biografi, Empat serangkai imam
mazhab. Jakarta , bulan bintang, 1995, hal 77,123,244,321.
[9]
Sholihan, pernak-pernik Filsafat Islam dari Al-Farabi sampai Al-Faruqi (Semarang;
Walisonggo Press, 2010)hlm. 157-166
[10]M.Chalil, Biografi,
Empat serangkai imam mazhab. Jakarta , bulan bintang, 1995, hal 138-139.
[11]M.Chalil, Biografi,
Empat serangkai imam mazhab. Jakarta , bulan bintang, 1995, hal 138-139.
[12]Kazuo shimogaki,
(Yogyakarta : pustaka pelajar)1994. hal 95-99.
[13]Kazuo shimogaki,
(Yogyakarta : pustaka pelajar)1994. hal 103-106.
No comments:
Post a Comment